PELAKU bisnis
di sektor mainan anak-anak masih berharap kepada pemerintah agar penerapan
Standard Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan ditangguhkan.
Namun, pemerintah tak bisa lagi diajak kompromi, palu sudah diketuk yang mematok pemberlakuan SNI untuk produk mainan anak-anak wajib dikenakan mulai akhir April tahun ini. Sebagai wujud kesiapan menyambut regulasi tersebut, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyiapkan aturan teknis.
Pada intinya, regulasi tersebut bertujuan mengawasi peredaran mainan anak-anak yang mengandung zat berbahaya. Dan di balik regulasi tersebut, pemerintah juga meyakini bisa merangsang investor untuk membuka pabrik mainan di Indonesia.
Pihak BSN membeberkan bahwa tak sedikit mainan anak-anak yang beredar di pasar saat ini mengancam kesehatan anak-anak. Pasalnya, bahan baku yang digunakan produsen sulit dikontrol.
Dari hasil penelitian, sebagaimana dipaparkan Kepala BSN Bambang Prasetya pada perhelatan World Plumbing Day Event di Jakarta awal pekan ini, sejumlah produsen mainan menggunakan bahan baku berbahaya. Bambang mencontohkan, plastik daur ulang yang bercampur aduk dengan baterai mengandung racun. Lalu, apa saja yang menjadi titik fokus BSN untuk mengamankan anak-anak dari mainan yang berbahaya?
Dari publikasi BSN yang gencar dilakukan sejak setahun lalu, setidaknya terdapat empat poin penting. Pertama,mainan harus bebas dari migrasi unsur kimia tertentu. Kedua, dari sisi bentuk yang menyangkut keamanan sudut (kelancipan) mainan.
Ketiga, soal sistem kelistrikan terutama mainan yang menggunakan baterai. Keempat, terkait kandungan pewarna zat Azo yang biasanya dipakai pada mainan anak-anak yang berbahan kain. Yang menjadi ketakutan para pelaku bisnis adalah langkah tegas pemerintah yang akan menarik peredaran mainan yang tidak bertanda SNI.
Pemerintah berdalih bahwa sosialisasi akan pem-berlakuan regulasi tersebut dinilai sudah lebih dari cukup. Diawali April tahun lalu ketika Kementerian Perindustrian menerbitkan Peraturan No 24 Tahun 2013 tentang pemberlakuan SNI untuk mainan anak-anak.
Pemerintah sudah menabuh genderang perang baik kepada produk mainan lokal maupun produk mainan impor, tak akan diberi dispensasi apa pun yang melanggar aturan tersebut. Misalnya untuk mainan impor yang tidak memenuhi SNI jangan pernah bermimpi masuk wilayah pabean Indonesia.
Adapun produk mainan yang sudah telanjur beredar di pasar namun tidak sesuai SNI, akan dikirim ulang ke negara asal atau dimusnahkan. Dengan kebijakan tersebut, pihak China dan Amerika Serikat (AS) langsung merespons negatif.
Kedua negara tersebut tercatat paling dominan memasukkan produk mainan ke Indonesia. Pihak BSN tak khawatir atas respons tidak bersahabat kedua negara tersebut. Adalah hak China dan AS untuk keberatan atas regulasi tersebut.
Selama ini, pemerintah mengklaim sudah menyosialisasikan kebijakan itu dalam berbagai pertemuan multilateral kenegaraan. Bahkan, pemerintah sudah menotifikasikan ke Badan Perdagangan Dunia sejak tahun lalu. Sekadar menyegarkan ingatan, berdasarkan pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, SNI adalah standar yang ditetapkan BSN untuk produk barang yang berlaku secara nasional.
Untuk barang yang telah memenuhi ketentuan spesifikasi teknis SNI oleh lembaga/ laboratorium yang telah diakreditasi, dapat memakai sertifikat atau dibubuhi tanda SNI. Sesuai Pasal 12 ayat 2 PP 102 Tahun 2000 SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha.
Namun, ada catatan apabila terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pertimbangan ekonomis, maka instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dalam SNI.
Persoalannya, fakta lapangan menunjukkan masih banyak produk terutama elektronik dan alat listrik yang beredar ditengah masyarakat tidak memenuhi SNI. Kita berharap langkah pemerintah yang tegas terhadap pemenuhan SNI pada produk anak bisa menjadi momentum untuk memperluas pengenaan SNI bagi semua produk yang beredar di tengah masyarakat. Adalah kewajiban pemerintah melindungi masyarakat dari segala yang membahayakan hidupnya.
Namun, pemerintah tak bisa lagi diajak kompromi, palu sudah diketuk yang mematok pemberlakuan SNI untuk produk mainan anak-anak wajib dikenakan mulai akhir April tahun ini. Sebagai wujud kesiapan menyambut regulasi tersebut, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyiapkan aturan teknis.
Pada intinya, regulasi tersebut bertujuan mengawasi peredaran mainan anak-anak yang mengandung zat berbahaya. Dan di balik regulasi tersebut, pemerintah juga meyakini bisa merangsang investor untuk membuka pabrik mainan di Indonesia.
Pihak BSN membeberkan bahwa tak sedikit mainan anak-anak yang beredar di pasar saat ini mengancam kesehatan anak-anak. Pasalnya, bahan baku yang digunakan produsen sulit dikontrol.
Dari hasil penelitian, sebagaimana dipaparkan Kepala BSN Bambang Prasetya pada perhelatan World Plumbing Day Event di Jakarta awal pekan ini, sejumlah produsen mainan menggunakan bahan baku berbahaya. Bambang mencontohkan, plastik daur ulang yang bercampur aduk dengan baterai mengandung racun. Lalu, apa saja yang menjadi titik fokus BSN untuk mengamankan anak-anak dari mainan yang berbahaya?
Dari publikasi BSN yang gencar dilakukan sejak setahun lalu, setidaknya terdapat empat poin penting. Pertama,mainan harus bebas dari migrasi unsur kimia tertentu. Kedua, dari sisi bentuk yang menyangkut keamanan sudut (kelancipan) mainan.
Ketiga, soal sistem kelistrikan terutama mainan yang menggunakan baterai. Keempat, terkait kandungan pewarna zat Azo yang biasanya dipakai pada mainan anak-anak yang berbahan kain. Yang menjadi ketakutan para pelaku bisnis adalah langkah tegas pemerintah yang akan menarik peredaran mainan yang tidak bertanda SNI.
Pemerintah berdalih bahwa sosialisasi akan pem-berlakuan regulasi tersebut dinilai sudah lebih dari cukup. Diawali April tahun lalu ketika Kementerian Perindustrian menerbitkan Peraturan No 24 Tahun 2013 tentang pemberlakuan SNI untuk mainan anak-anak.
Pemerintah sudah menabuh genderang perang baik kepada produk mainan lokal maupun produk mainan impor, tak akan diberi dispensasi apa pun yang melanggar aturan tersebut. Misalnya untuk mainan impor yang tidak memenuhi SNI jangan pernah bermimpi masuk wilayah pabean Indonesia.
Adapun produk mainan yang sudah telanjur beredar di pasar namun tidak sesuai SNI, akan dikirim ulang ke negara asal atau dimusnahkan. Dengan kebijakan tersebut, pihak China dan Amerika Serikat (AS) langsung merespons negatif.
Kedua negara tersebut tercatat paling dominan memasukkan produk mainan ke Indonesia. Pihak BSN tak khawatir atas respons tidak bersahabat kedua negara tersebut. Adalah hak China dan AS untuk keberatan atas regulasi tersebut.
Selama ini, pemerintah mengklaim sudah menyosialisasikan kebijakan itu dalam berbagai pertemuan multilateral kenegaraan. Bahkan, pemerintah sudah menotifikasikan ke Badan Perdagangan Dunia sejak tahun lalu. Sekadar menyegarkan ingatan, berdasarkan pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, SNI adalah standar yang ditetapkan BSN untuk produk barang yang berlaku secara nasional.
Untuk barang yang telah memenuhi ketentuan spesifikasi teknis SNI oleh lembaga/ laboratorium yang telah diakreditasi, dapat memakai sertifikat atau dibubuhi tanda SNI. Sesuai Pasal 12 ayat 2 PP 102 Tahun 2000 SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha.
Namun, ada catatan apabila terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pertimbangan ekonomis, maka instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dalam SNI.
Persoalannya, fakta lapangan menunjukkan masih banyak produk terutama elektronik dan alat listrik yang beredar ditengah masyarakat tidak memenuhi SNI. Kita berharap langkah pemerintah yang tegas terhadap pemenuhan SNI pada produk anak bisa menjadi momentum untuk memperluas pengenaan SNI bagi semua produk yang beredar di tengah masyarakat. Adalah kewajiban pemerintah melindungi masyarakat dari segala yang membahayakan hidupnya.
0 comments:
Post a Comment